Senin, 19 Maret 2012

Fatamorgana


Seperti malam biasanya, aku belum tertidur, karena ada saja yang aku kerjakan menjelang tengah malam. Entah itu, merapihkan pekerjaan untuk besok, membaca buku menjelang tidur atau sekedar menonton televisi. Namun, Blackberry selalu ada di dekatku. Melebihi dekatnya seorang soulmate

PING !!!
PING !!!
PING !!!

Blackberry ku bergetar. Kulihat namanya. Sebuah nama yang selalu menggetarkan Blackberry ku di kala makan siang dan menjelang pulang kantor. Nama itu yang menjadi alasanku mengubah mode sound profile ponsel pabrikan Kanada, Research in Motion ini, dari suara - getar menjadi hanya bergetar. Mode yang menurutku cukup ‘aman’ apabila dia meng-PING ku, seperti jam 11 malam ini.

“Aku sudah tidak tahan lagi…”

“Kenapa?”

“Kita harus berakhir! Aku tidak tahan lagi menahan gejolak cemburuku setiap kali kamu pulang ke rumah!”

“Kamu seharusnya sudah mengerti tentang posisiku, jadinya kita tidak perlu membahas lagi kecemburuan kamu…”

Aku menanti reply bbm-nya, namun tidak juga ditanggapinya. Aku menunggu hingga tiga puluh menit, memandang Blackberry hitamku yang berada disamping lap top Toshiba. Pengharapanku tuntas di malam itu, akupun tertidur.

                                                …..

Sarah, wanita berusia 26 tahun yang kutemui saat aku liburan bersama istri dan anakku. Wanita tinggi semampai dengan rambut ikal panjang berwarna brown ash. Ketika reservasi, kami bertemu di sebuah lobby hotel berbintang lima, di Seminyak, Bali. Kamipun basa-basi ringan. Pertemuan secara tak sengajapun terjadi lagi ketika aku sarapan lebih awal dibanding istri dan anakku.
Sepertinya omelet yang mempertemukan kami, karena kami antri di tempat yang sama, hanya kematangan omelet yang membedakan kami. Dia lebih menyukai yang setengah matang, sedangkan aku lebih suka yang lebih matang. Menurut kamu, omelet setengah matang lebih basah dan ada sensasi muncratnya di dinding mulut kamu yang mungil itu.

“Sejauh ini, kita seperti berjodoh, bisa ketemu lagi…” kataku.

“Hahaha…iya, sepertinya begitu…” jawabnya.

Pertemuanpun berakhir ketika kamu memutuskan untuk menikmati aura Matahari pagi di Pantai Seminyak bersama kawan-kawanmu. Sempat terpikir untuk menyusul kamu ke pantai yang terletak di ujung jalan Dhyanaputra itu. Tapi keinginan itu sudah tercukupi dengan pin Blackberry mu.

                                                …..

Tanpa terasa, aku dan Sarah telah melalui kebersamaan selama dua tahun. Kebersamaan yang sembunyi-sembunyi dan rahasia. Walaupun singkat, pertemuan kami selalu menyisakan debur getar. Ada sensasi yang menyelip didalamnya.

Jangan katakan tentang perasaan yang bersemayam diantara kami. Sarah pernah mengatakan bahwa dia menyayangiku. Dia bahkan rela menolak beberapa lelaki yang ingin mendekatinya, lalu membungkus kedekatan itu dengan sebuah komitmen. Katanya, dia melakukan itu supaya tetap bersamaku.

Aku? Entahlah, sepertinya jatuh cinta lagi bukanlah rencanaku. Namun, aku selalu mengatakan bahwa aku sayang padanya melebihi istriku. Dan setiap kali aku mengatakan itu, Sarah hanya tertawa, sambil berkata,

“Kalo begitu, tinggalkan saja, istrimu dan menikahlah denganku…”

Lalu, aku hanya membisu, terasa bodoh karena terjebak dengan bualanku sendiri. Aku pun selalu mengalihkan pembicaraan itu. Terasa kurang nyaman, karena sebenarnya, aku bukanlah pembual atau mungkin saja….akh!

                                                …..

Setelah bbm malam itu, paginya, aku mengecek Blackberry. Namun, aku tidak menemukan jawaban yang aku tunggu dari Sarah tentang ketidaktahannya bersamaku lagi.
Akupun sarapan. Mengantar anakku ke sekolah dan istriku ke kantornya. Setibanya di kantor, aku memburu namanya di phone book, menghubunginya lalu menunggu suara renyahnya menyapa panggilanku.

“Sarah?”

“…..”

“Sarah?!”

“Aku sudah tidak kuat lagi…aku ingin memilikimu tapi aku tau itu tidak mungkin, aku ingin pergi dari kamu. Jangan kamu cari aku!”

Teleponpun di tutup. Aku tidak mendengar suaranya. Kuhubungi lagi, namun tidak pernah diangkat. Aku bbm, namun tidak pernah diterima.

Haripun berganti menjadi bulan, aku benar-benar kehilangan jejaknya. Aku baru menyadari bahwa sebenarnya aku menyayanginya. Aku menyayanginya dari cara dia tersenyum.  Aku menyayanginya karena dia manja. Aku menyayanginya dari perhatian dia yang tulus. 
"Kamupun berubah menjadi dewasa ketika aku mengeluh, karena itu, aku menyayangimu."

Walaupun itu semua hanya fatamorgana namun apa yang kurasakan begitu nyata, yaitu rasa kehilangan.
Saat Sarah bersamaku, I’m falling in lust, namun ketika dia telah pergi, I’m falling in love.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar