Rabu, 22 Februari 2012

When the Day Surprised You


“Percaya bahwa kita hanya bisa disakiti oleh orang yang kita cintai, jadi membenci selalu menjadi pilihan yang benar…” Divortiare.

Kutipan yang serasa cocok dengan keadaan Ruben saat ini. Pria berusia 32 tahun yang baru saja bercerai. Pernikahannya selama tiga tahun kandas karena gejolak yang hingga sekarang tidak ia mengerti. Apabila diurai satu persatu, gejolak itu seperti benang kusut. Ruben hanya mengetahui bahwa sejak empat bulan terakhir pernikahannya, istrinya selalu meminta cerai. Desakanpun berdatangan dari keluarga istrinya agar permintaan cerai dikabulkan. Usaha untuk mempertahankannya hanya menjadi perjuangan kosong. Buat apa cinta dipertahankan apabila hanya sendirian yang mencintai?

                                                                           .....

Palu Hakim di Pengadilan Agama Tigaraksa, Tangerang memecah lamunan Ruben, ketika mengetahui istrinya didampingi oleh pria berkaca mata hitam dengan setelan batik sutranya. Dugaanpun bermain di kepalanya. Bayangkan, di momen pribadi itu, ia melihat istrinya bersama lelaki lain yang bukan kerabat ataupun pengacaranya.

Sidangpun kelar, tidak ada perdebatan apapun. Karena kedua belah pihak tidak mengajukan tuntutan harta gono-gini ataupun perwalian hak asuh anak. Mereka keluar dari ruang sidang.
Lalu, ia memperhatikan gerakan lincah bibir pengacara istrinya membisikkan sesuatu ke wanita yang telah disetubuhinya selama tiga tahun terakhir itu. Entah apa yang dibicarakan, namun Ruben hanya membisu.

Mereka berpencar di parkiran. Ruben kembali ke kantornya, sedangkan mantan istrinya bersama lelaki berkaca mata hitam dan pengacaranya. Kali ini, mereka benar-benar berpisah. Momen yang paling menyakitkan selama hidupnya.

Segala dugaanpun berkecamuk di pikirannya selama perjalanan menuju kantornya.
“Jadi, saat dia minta izin pulang lembur…"
"Jadi, ketika kutemukan dia asyik dengan handphonenya di tengah malam…"
"Jadi, saat dia selalu menolak pulang bareng dari kantor…Akh!”

Lemas. Marah. Bingung. Bergolak dalam ruang kepala dan hatinya. Ia membutuhkan makan yang banyak untuk melepaskan emosinya. Persetan dengan pola diet dari instruktur gym-nya.

                                                                           .....
Setahun telah berlalu dari perceraiannya, Ruben mencoba untuk percaya dengan hatinya lagi. Percaya bahwa membuka diri dan mencintai lagi adalah pilihan yang tepat. Namun, tidak semudah itu. Dorongan pikirannya selalu melompat ke ruangan gelap masa lalunya.
Kesimpulannya, komitmen hanyalah gurauan. One night stand selalu menjadi pembenaran. “Don’t fix me!”

Hanya disini, ia bisa melarikan diri dari kegalauannya. Membaca buku dari siang hingga sore. Meyakini bahwa waktu akan menyembuhkan semuanya. Walaupun waktu tidak bisa berbuat apapun.

Duduk di meja kecil dengan kursi kayu di pojokan Backyard Coffee, membuatnya nyaman, kegiatan yang kerap dilakukannya di saat weekend seakan berubah menjadi momen yang sangat mahal, priceless, ditengah kesibukannya sebagai akuntan. Menurutnya, membaca buku apapun mampu menenggelamkan masa lalunya seperti ampas kopi yang tenggelam di cangkirnya.

Di kedai kopi bermotif bata merah ini, Ruben membaca buku kumpulan cerita, “Filosofi Kopi.” Buku apik satu dekadenya, Dewi Lestari yang dibelinya di toko buku Gramedia di sebutan Bintaro.
Imajinasinya menerawang membaca kata-perkata setiap untaian kalimat setiap cerita. Membentuk karakter ciptaannya sendiri ketika dia membayangkan sosok Ben, seorang barista atau peracik kopi di cerita Filosofi Kopi yang begitu intens meramu kopi yang sempurna.

Di kebetan bab berikutnya, Ruben menemukan sosok Hera. Seorang wanita idealis yang membuatnya terbunuh karena obsesi mencari seseorang bernama Herman. Ruben mewakili sosok Hera seperti mantannya yang pernah dikencaninya saat dia duduk di bangku SMA.

Ruben semakin tenggelam dengan imajinasi dan fantasinya. Seakan masuk kedalam buku setebal 139 halaman itu, menikmati imajinasinya  menjadi sosok yang berubah-ubah, seperti sebuah perjalanan.

Tiba-tiba, petualangan imajinasinya buyar oleh suara yang mendekatinya.

“Kosong, ya?”
Seketika, wanita semampai berkulit putih bersih duduk dihadapan Ruben, membawa secangkir cappucino.

“Baca apa? Ooow, novel…”
Wanita itu bertanya sekaligus menjawab sendiri pertanyaannya ketika dia mengangkat sedikit posisi buku Ruben yang sedang dicengkramnya. Padahal, Ruben tidak membaca novel, tapi buku kumpulan cerita dan prosa.

“Aku tidak mengerti dengan orang yang menghabiskan waktu dengan membaca novel atau apapunlah bentuk prosanya. Puisi, cerpen, novel,” lanjut wanita dengan potongan rambut bop yang beraroma halus bunga melati Joy, parfum rekomendasi Jean Patou, desainer pakaian dari Paris itu.

“Seandainya novel itu adalah lelaki, maka itu adalah perumpamaan yang tepat! Susah dimengerti! Karena bagaimana mungkin sebuah imajinasi  bisa mencampuri kehidupan nyata, terlalu drama!”

“Iya! Lelaki adalah lakon drama paling sukses di jagat sandiwara dunia ini. Mereka menilai, dengan segala logikanya mereka mampu menelikung segala sesuatu, hingga memposisikan dirinya menjadi yang paling benar,” sambung wanita itu sambil sesekali memutar-mutar cangkir cappocino-nya.

Ruben mengakhiri prosesi membacanya. Ia selipkan pembatas buku diakhir lembaran halaman yang dibacanya. Ruben menaruh buku disisi meja, lalu menyeruput kopi hitamnya sambil memerhatikan kicauan wanita itu.
Sesekali Ruben menghela nafas. Ia melakukannya untuk menyadarkan wanita sinis itu dari cara pandangnya terhadap lelaki.  Namun itu tidak berhasil.

“Menurut saya, tidak semua lelaki seperti itu,” sergah Ruben.

“Memang tidak semua, tapi lihatlah, mereka tidak lebih dari seonggok daging yang selalu memerintah. Menempatkan perempuan sebagai subordinat yang patut dipersalahkan,” repet wanita itu.

“Posisi seorang wanita bisa ‘dilenyapkan’ begitu saja ketika kecemburuan tanpa alasan terjadi. Hingga berani menyakiti seorang wanita secara fisik. Sungguh, sulit untuk dimengerti!”

Kali ini, suara wanita tersebut bergetar. Getar pita suaranya menjadi terdengar gugup. Jantungnya berdebar. Tanpa disadari, keringat merembet di dahi kanannya.

Suasana menjadi hening sesaat ketika wanita itu menyeruput cappocinonya dengan bibir mungil berwarna peach. Ruben bersandar, menarik napas dan memuntahkannya lagi secara perlahan. Ia perhatikan setiap gerakan wanita yang selalu memutar-mutar cangkir cappocinonya. Sesekali pandangan wanita itu terlempar keluar menembus jendela kaca Backyard Coffee, ke arah jalanan yang ramai dengan lalu lalang mobil.

Ketika wanita itu mengangkat cangkir, terlihat luka memar di lengan bawahnya. Lengan baju panjangnya melipat hingga ke sikunya, terlihat lukanya yang memerah, di lengan bawah kiri dan kanannya.

Ruben menyorongkan badan kedepan. Melipat tangannya diatas meja, memerhatikan luka-luka wanita itu, seksama. Memastikan lagi apa yang telah dilihatnya.

“Anda tidak apa-apa? Tangan Anda terluka…”

Jari-jari wanita itu gemetar. Memerhatikan setiap pengunjung yang masuk dan keluar, walaupun sore itu, tidak banyak pengunjung yang datang. Napasnya tersengal-sengal. Seakan hatinya babak belur dan remuk redam tidak tahan menyimpan beban di hatinya.

“Siapa yang melakukan ini?” sambung Ruben, sambil memerhatikan luka itu, lalu memandang mata wanita didepannya yang mulai membasah. Agak lama Ruben menanti jawabannya. Sebuah katapun terlontar.

“Suamiku…”

Praaang!...Ziiiing!!!

Tiba-tiba wanita itu roboh! Bangkunya jatuh ke kanan, berikut dengan tubuh sintalnya yang berbobot 53 kg. Matanya membelalak. Darah mengucur dari pelipis kirinya, membasahi pipi dan dahinya. Tas Hermes yang sedari tadi berada di sisinya, terlempar tidak jauh dari tubuhnya.

Sebuah peluru tanpa suara datang dari arah kiri wanita berwajah tirus itu. Tepat ke pelipis kirinya, menembus hingga ke tengkorak bagian kanan bawah telinganya. Peluru memecah kaca depan cafĂ© mungil serta  membentuk bulatan dengan serpihan kaca yang berhamburan, nyaris mengenai wajah Ruben.

Ruben menjatuhkan diri, adegan tindakan naluriahnya menyelamatkan nyawa ketika ada bahaya. Tubuhnya berdebam ke lantai, berhadapan dengan wanita itu. Tatapan wanita yang mengobrol dengan Ruben,  kosong. Rubenpun terbelalak, tidak percaya terhadap apa yang telah terjadi. Semuanya begitu cepat. Ruben meremas pundak kiri wanita itu lalu  mengguncang-guncangnya, namun percuma karena sudah tidak bergeming lagi.

Ruben menengok ke arah asal tembakan. Terlihat sosok bayangan membawa tas panjang pergi terburu-buru dari atas ruko di seberang jalan.
“Telepon polisi!” teriak Ruben.

                                                                             .....
Tidak ada firasat apapun. Tidak ada pertanda aneh yang datang melalui mimpi Ruben semalam. Namun tragedi hari itu menjadi cerita seumur hidupnya, berdampingan dengan cerita perceraiannya.

Kamis, 09 Februari 2012

Romantisme Nasi Uduk

Menurut Wikipedia, nasi uduk adalah nama sejenis makanan terbuat dari bahan dasar nasi putih yang diaron dan dikukus dengan santan dari kelapa yang di parut, serta dibumbui dengan pala, kayu manis, jahe, daun serai dan merica. Makanan ini kemudian dihidangkan dengan emping goreng, tahu goreng, telur dadar/telur goreng yang sudah diiris-iris, abon, kering tempe, bawang goreng, ayam goreng, timun dan sambal dari kacang. Makanan ini biasanya lebih sering dijual di pagi hari untuk sarapan dan malam hari untuk makan malam.

Membayangkan nasi uduk, menggelitik fantasi saya terhadap penjual nasi uduk yang biasa saya temui. Tapi jangan menduga tentang fantasi penjualnya yang mirip Jupe atau Dewi Persik. Penjual yang kerap saya kunjungi seminggu sekali ini adalah seorang wanita berusia sekitar 70 tahunan. Perawakannya kurus dengan memakai penutup kepala seperti jilbab. Pakaian kebangsaannya adalah daster bermotif bunga-bunga dengan sendal jepit swallow berwarna hijau. Saya biasa memanggilnya dengan Mak Haji. Karena Mak Haji ‘lulusan’ ibadah haji di Mekkah.

Mak Haji memiliki warung berukuran sekitar 2 X 5 m, dengan dinding kayu bercampur plesteran kasar yang belum di aci. Warungnya dibagi menjadi tiga partisi. Partisi depan adalah bale-bale tempat pengunjung yang menyantap nasi uduk, partisi tengah tempat display aneka gorengan, telor dadar, toples bawang goreng, bakul nasi uduk, sambal kacang, dua baskom semur dan tiga kaleng krupuk. Baskom semur dipisahkan antara baskom berisi kentang, tempe dan tahu dengan baskom semur jengkol. Partisi belakang adalah tempat cuci piring, dapur  dan tempat Mak Haji ngaso dengan televisi 14 inch-nya. Di dapur, dapat ditemui tumpukan potongan kayu bakar dengan dinding dapur yang menghitam karena jejak jelaga masakan.

Mak Haji biasa membuka warungnya dari pukul 17.00-an WIB hingga pukul 24.00 WIB. Namun, Mak Haji hanya dinas hingga pukul 22.00-an WIB. Sisa waktunya diganti oleh anaknya. Saya biasa mengunjungi warung nasi uduk dibilangan H. Mencong, Cileduk itu sekitar pukul 20.00-an WIB, setelah pulang kantor. Di waktu itulah, saya sering menemui Mak Haji untuk memesan semur tahu tanpa nasi uduk. Makan di bangku panjangnya, yang menghadap televisi. Disaat lengang, Mak Haji suka menemani saya makan. Kami bicara hal yang ringan-ringan. Saya sering mengutarakan lawakan-lawakan garing. Tapi sering juga, Mak Haji tertawa hingga giginya yang jarang itu, terlihat.

Seperti suatu malam, saya mampir lagi ke warung Mak Haji. Memesan 4 tahu semur dengan taburan krupuk merah. Dengan dialek Betawinya, Mak Haji dan saya berbincang-bincang.

Saya               : “Mak, empat tahu, gak usah pake kuah tapi dikasih sambel, yak.” Sambil serius chating di *BBM.
Mak Haji        :  “Lah, bocah, kagak pernah madang nasi uduk..”
Saya               : “Iya, Mak,” jawab saya sekedarnya.

Sepiring berisi semur tahu sudah siap, di hidangkan di bangku panjang, tempat saya duduk. Beberapa lama kemudian, Mak Haji duduk disamping saya.

Mak Haji        : “Loe ngapain, tong? Madang dulu, ngapah..”
Saya              : “Saya lagi cheting ama pacar di Argentina, Mak! Argentina itu, jauuuuh. Di luar negeri. Tempat Maradona ama Messi sekolah!”

Mak Haji        : “Jauh bener, tong punya pacar..Lah, Mak kagak kenal, dah ama Maradona!”
Saya              : “Iya, jauh mak..Mak tau gak, saya punya pacar dua. Namanya Eva Mendes ama Penelope Cruz. Nah, sekarang, saya lagi cheting ama nih, dua cewe.” Sambil tetap khusyuk memandang ke arah BlackBerry.

Mak Haji        : “Punya pacar ampe dua gitu, kagak pusing, tong?”
Saya              : “Gak, Mak…Sebenernya justru mereka yang pusing ama saya. Karena setiap kali cheting, mereka gak ngerti saya pake bahasa apaan. Jadinya saya sering cheting pake bahasa tubuh, Mak,” sambung saya sambil menatap Mak Haji yang mulai bingung.

Sebelum obrolan kami semakin ngaco, akhirnya saya mengalihkan pembicaraan. BlackBerry pun saya simpan di kantong jaket. End chat.

Saya               : “Mak, gak ikutan makan?”
Mak Haji        : “Mak mah, kagak makan, kalo udah malem…”

Saya               : “Diet, mak?”
Mak Haji        : “Lah, apaan ntuh, diet?”

Saya               : “Diet itu, ngejaga pola makan, Mak..ngatur apa yang kita makan, termasuk jam berapa kita makan.”
Mak Haji        : “Emang Mak dah kebiasaan kagak makan malem-malem, tong.”

Hingga semur tahu itu habis saya lahap, tidak henti-hentinya obrolan kami saling bersahutan. Tak terasa, sudah hampir satu jam saya di warung sederhana beratapkan genteng merah itu.
                                                                               …..

Mak Haji, cerminan seorang wanita yang ulet. Walaupun tenaganya termakan usia, beliau masih punya semangat untuk bekerja. Raut wajahnya menyimbolkan kesabaran dan ketabahan.
Sebenarnya, banyak sekali wanita perkasa seperti Mak Haji yang merelakan masa tuanya tetap dipakai untuk bekerja. Saya selalu salut dengan kegigihannya. Oleh karena itu, saya selalu usahakan untuk mampir ke warung Mak Haji, sekedar untuk ngobrol, supaya saya bisa belajar bagaimana caranya untuk tidak mudah mengeluh.

Diakhir sowan itu, saya tanya, “Mak, gak istirahat aja? Gak usah pake kerja-kerja kayak begini. Kalo pegawai negeri, sebutannya pensiun, Mak. Jadi bisa sering ngaso di rumah..”

Lalu, Mak Haji menjawab, “Mak, jualan nasi uduk, cuma buat ongkos ngaji, tong, supaya kagak perlu minta ama anak-anak…”

*BBM = BlackBerry Messenger 
*Bocah = sapaan untuk kata, Nak
*Madang = makan

Jumat, 03 Februari 2012

Setelah Ngegym

Hampir setiap malam, sehabis pulang kerja, saya menyempatkan diri untuk ngegym. Biasanya tiba di tempat gym pada pukul delapan malam. Ditambah prosesi mandi, saya baru benar-benar meninggalkan gym di bilangan Bintaro itu, pukul sepuluh malam. Bagi saya, ngegym di malam hari sudah menjadi bagian ritual penutup kegiatan saya di hari itu. Ngegym bukan untuk membentuk tubuh tapi hanya menjaga kebugaran. Karena apabila tujuannya membentuk tubuh, sudah sedari dulu perut saya tidak menyerupai perut one pack 5 kg karung beras.

Setelah basa-basi dengan para trainer dan resepsionis, saya bungkus badan saya dengan jaket jeans yang warnanya sudah memudar dan mbelel. Saya pacu motor biru pabrikan Suzuki pada kecepatan 30 km/jam. Kecepatan favorit!

Namun malam itu, perut saya terasa amat keroncongan. Lain seperti biasanya. Tidak banyak pilihan menu makanan yang ‘aman’ di malam hari. Akhirnya setelah saya telepon ketua RT Desa Sarang Penyamun, saya memutuskan untuk makan Cah Kangkung Saos Tiram. Tentunya tanpa nasi. Karena menurut Ki Joko Bobo, nasi putih mengandung kadar gula tinggi yang bisa menyebabkan perut ndut, apalagi di konsumsi malam hari.

Setelah melewati warung tenda penjual Daging Banteng Tiram, penjual Kuku Ayam Goreng dan penjual Bulu Burung Elang Balado, tibalah saya di warung tenda biru penjual spesialis Cah Kangkung dengan Cah Cing Cang Keling sebagai chef andalannya. Tanpa basa-basi saya langsung pesan Cah King Kong Saos Tiram, eh Cah Kang Kung, ding.

Menu ‘aman’ pun tersaji dengan minuman jeruk hangat tanpa gula. Ketika suapan pertama touch down di mulut, terdengar suara sumbang bas betot karet tambal ban. Bukan hanya itu, sayapun mendengar suara artisnya menyanyikan,

“Ke sana kemari membawa alamat…
Namun yang ku temui bukan dirinya…
Sayang yang ku terima alamat palsu…”

Hampir, saya meninggalkan meja tempat makan untuk berjoget sambil nyawer. Untunglah, naluri itu tertahan karena perut yang lagi lapar.
Beberapa lama kemudian, artis bas betot itu sudah berdiri disamping saya. Dia tidak menyanyi.
Dia berkata,
“Hai, ganteeeeng! Kok, makan sendiri?”

Tidak ada respon yang tersisa dari saya, selain bertanya, “Heh?”

Seketika, dia pun menjawil kedua pipi saya. Menarik ke kiri dan ke kanan. Sambil memonyongkan bibir sensualnya. Mirip ABG apabila di foto supaya keliatan unyu atau imut. Artis itu seperti perempuan, memakai baju sporty dengan bagian perutnya yang membuka. Tentunya dengan baju seperti itu, angin malam akan leluasa bersarang di tubuhnya. Lalu saya berandai, apabila perut itu ditusuk jarum pentul, pasti akan keluar angin.

Artis berambut pirang itu, memakai rok mini mengkilap keperak-perakan. Keliatan begitu blink-blink ketika diterpa cahaya petromaks. Tidak lupa dengan boots warna pink dengan tambalan tensoplast di boots kanannya. Sempurna sekali, artis ini. Sempurna niatnya!

Untunglah, pertunjukkan adrenalin itu hanya berlangsung beberapa menit. Kemudian dia pergi bersama bas betotnya di tengah dinginnya malam yang mulai rintik-rintik itu. Dia pun tidak meminta uang seribu rupiah yang telah saya siapkan diatas meja.

Tidak ada guratan keluhan di wajah artis itu. Dia selalu sumringah apabila mampir di tempat makan untuk membawakan lagu Alamat Palsu-nya, Ayu Ting Ting. Walaupun lagunya selalu sama, setidaknya dia update dengan trend lagu saat ini.

Menurut saya, dia adalah salah satu pekerja yang komitmen dengan pekerjaannya. Tidak ada yang ditutupi, termasuk udelnya. Apapun cuacanya, dia konsisten dengan kostumnya. Mungkin tanpa dia sadari, dia telah menjadi seorang entertainer sejati. Walaupun kebanyakan dari kita, mungkin menganggapnya sebagai penghibur yang absurb.

Saya pun kenyang, bersiap lanjutkan perjalanan menuju pulang. Di kejauhan, saya mendengar alunan bas betot artis itu. Alunan musik yang sederhana dan suara artis yang ala kadarnya tapi begitu jujur.

Kamis, 02 Februari 2012

Tentang Kopi


Apa yang terlintas pertama kali ketika mendengar kata kopi? Minuman hitam pekat dan beraroma? Penghilang rasa kantuk? Minuman hangat yang terasa lebih nikmat apabila dicampur krim?

Iya, betul. Kopi adalah jenis minuman berwarna hitam pekat sebagai penghilang rasa kantuk. Aromanya begitu khas. Paling nikmat apabila disajikan hangat. Sekali kesempatan minum kopi, alangkah lebih nikmat apabila disajikan dengan porsi cangkir. Tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Kopi dalam cangkir menyimbolkan kesan yang cukup. Mungkin mengajarkan supaya kita tidak berlebihan terhadap sesuatu. Seperti mencintai secukupnya dan membenci sekedarnya.

Menurut saya, kopi itu berkarakter. Ada sisipan maskulin didalamnya. Karena warna kopi yang gelap gulita. Namun, kopi pun bisa berubah menjadi lebih girly ketika dipadu dengan krimer atau sedikit susu. Karakter tersebut sangat menarik, karena setiap dari kita memiliki sifat maskulin dan feminin. Tinggal bagian mana yang paling dominan.

Sejatinya, kopi memiliki rasa pahit, hanya akan menjadi lebih nikmat apabila ditaburi gula. Makna tersebut menungkapkan bahwa sebagus apapun kita meracik kopi dengan gula ataupun krimer, kopi tetaplah pahit. Kopi menyinggung kita bahwa sebaik apapun kita membalut diri dengan kesempurnaan yang kasat, setiap dari kita masih memiliki sisi lain yang tidak sempurna.

Kopipun seakan menjadi pelecut berupa pecut yang tidak kecut. Dan diminum dengan memakai cangcut..*lho?
Setiap kali saya menyesap kopi, minuman ini selalu memberikan efek semangat. Kafein dalam kopi merangsang denyut jantung lebih cepat. Seakan berpacu dengan adrenalin yang membuat lebih terjaga.

Terlepas dari makna dibalik itu, kopi menjadi minuman wajib yang mesti tersaji setiap pagi. Disajikan hangat walaupun Ibu saya percaya, kopi akan lebih nikmat apabila disajikan dengan tuangan air bersuhu 100 derajat Celcius. Seketika, saya merasa seperti orang yang sedang ngilmu debus. Untunglah, Ibu saya tidak pernah menyajikan kaca dan paku sebagai menu sarapan.