Senin, 28 November 2011

Kita, Dulu dan Reuni

Empat belas tahun lalu, saya begitu bodoh hingga saya tidak mengerti bagaimana bersikap yang layak. Begitu banyak kealpaan yang membuat saya gemes dan gregetan.
Saya pernah mengungkapkan perasaan ke seorang cewe sebanyak 7 kali, dan selama 7 kali itu juga saya mengalami penolakan. Saya pernah memanjat pagar sekolah karena telat. Mohon maaf, Bu Anna, saya pernah melakukan itu. Saya pernah menilep sebagian uang SPP hingga saya telat 2 bulan, lalu di panggil ke ruang BP.

Atau seperti cerita Andi Dwi Hartanto yang biasa dipanggil Bedil, salah satu temen baik saya, yang berlagak seperti superhero di bus Bianglala ketika mesti berjibaku sendirian melindungi temen-temen kita dari serangan SMA HangTuah. Lengannya terluka karena sabetan benda tajam. Keesokannya, Ibu Dewi datang ke rumah Andi untuk membesuk, lalu beliau tidak mendapati Andi di rumahnya. Karena saat itu, Andi sedang terbahak-bahak dan ceria di Dunia Fantasi, padahal hari itu, adalah hari seharusnya dia masuk sekolah.

Dan saya pun ingat bagaimana Dharmahadi Putra ato yang biasa kita panggil dengan Banteng, membaca stensilan di pelajaran Pak Sentot. Saat itu, kami begitu serius mendengar khotbah Pak Sentot tentang pengertian Reaksi Kimia, namun Banteng cekakak-cekikik dengan kawan sebangkunya. Mereka menutupi buku stensilan dengan punggung buku kimia yang diletakkan terbalik. Sejurus kemudian, mereka sudah duduk pesakitan di ruang Kepala Sekolah. Lalu, aib itupun tersebar keseluruh kelas 2, hanya dalam hitungan jam.

Kita, pernah melakukan kebodohan itu. Mengingat kesalahan itu yang membuat kita  sekarang tertawa bahkan miris, betapa konyolnya kita.

Namun tanpa disadari, kita belajar bagaimana mengakui kesalahan kita. Kita mengerti untuk bisa jujur terhadap keluguan dan kepolosan kita.
Lalu kita bertransformasi menjadi pribadi yang utuh seperti sekarang. Walaupun perbaikan terhadap pribadi kita gak pernah berakhir dan usai. Tapi kita mengerti bahwa kita cukup menikmati betapa ajaibnya proses transformasi kita. Hingga kita menjadi pribadi yang sekarang.

Let it go
Let it roll right off your shoulder
Don't you know
The hardest part is over
Let it in
Let your clarity define you
In the end
We will only just remember how it feels

*ditulis untuk Reuni Angkatan 1997, SMAN 90 Jakarta


Kamis, 17 November 2011

Sohib


Ketika ditanya, siapakah sohib kamu di SMA? Mungkin gak banyak nama yang akan kesebut. Kisarannya satu sampe lima jari. Kenapa? Karena cuma yang namanya sohib, yang boleh kita ‘izinkan’ masuk ke ranah pribadi kita. Palagi, di masa labil itu, kadang kita begitu introvert terhadap temen-temen sekitar kita. Walaupun mereka juga pasti ngertiin kita yang kadang butuh tempat untuk sekedar berbagi. Terutama berbagi makanan di kantin :))

Well, saya pengen cerita tentang sohib saya. Pertama kali ketemu dia, waktu kami dapet job dadakan dari sekolah untuk dekor panggung perpisahan kelas III. Waktu itu kami duduk di bangku kelas I. Kalo gak salah taon 1994. Saat buat spanduk, dia buat motif sisik ikan di seputar font dengan kertas krep emas. Saya pikir, “Apa yang dilakuin, siy? Bikin rame aja! Gak artistik, tauk!”

Akhirnya pertemuan kami terhenti disitu aja. Hingga waktu kelas II, saya paling terakhir yang masuk kelas di taon ajaran baru itu. Terakhir masuk kelas karena sebelomnya, saya mesti berurusan dengan toilet. Setelah nyapu pandangan seluruh kelas, cuma ada satu bangku yang tersisa. Dan itu paling belakang dan dah ditempatin oleh satu orang. Gaya orang itu terkesan selenge-an, cuek dan sok cool. Dia duduk sambil nyenderin kursi ke dinding dengan kedua tangan dibelakang kepala. Saya tanya, “Kosong?” Dia menyahut, “Iya! Loe bisa bahasa Inggris?” Lalu saya, jawab, “Bisa..” Padahal, saya cuma gape bilang yes or no aja, selebihnya hanya bahasa Inggris pelem western yang terkenal ama kutukan-kutukannya itu.

Kami duduk sebangku selama setaon, 1995, di kelas II.6 itu. Ternyata dia orang yang menyenangkan, konyol, dramatis, a good story teller, sedikit smart dan penebar pesona akut.

Saya mengenal nyontek untuk pertama kali dari dia. Hampir setiap ujian, dia tempelin buku pelajaran dibawah meja dengan lututnya. Kalo guru khilaf, dia akan sigap! Sigap ngeliat contekan. Awalnya saya amazed dengan sikap yang saya anggap tabu selama itu. Tapi akhirnya kami menjadi partner in crime setiap kali ujian. Dia tempelin buku diatas lututnya, sedangkan saya kebagian ngawasin pergerakan guru. Kalo aman, segala jawaban ‘surga’ dan bayangan nilai 9, udah ada di tangan kami.



Lalu, dari bangku di kelas II itu, ‘kedekatan’ kami berlanjut ke bangku OSIS. Yup! Di lembaga itu, kami seperti menemukan siapa diri kami sebenernya. Dia itu kompetitif dan selalu ingin terlibat dalam setiap drama panggung hiruknya politik praktis OSIS SMA. Suatu hari dia pernah bilang, “Pik, kita mo adain demo. Loe yang maju. Pengaruhin anak-anak, nanti gw siapin materinya dan dukung loe dari belakang...”
Kisah dramanya pun kerap tertuang juga pada kehidupan pribadinya. Di waktu istirahat sekolah, dia pernah cerita, “Gw tadi abis ketemu Yossie di perpustakaan, gw mengusap pipinya. Terus gw pandangin dia...”

Namun, kedekatan kami bukan tanpa masalah. Kami pernah gak tegoran selama beberapa bulan, cuma karena urusan cewek. Sepele banget! Kami juga suka beda pandangan tentang terjangan kami di OSIS. Dan kami paling suka berdebat setiap kali ada diskusi kelas. Dia selalu menjadi my favourite #1 enemy!
Ributnya kami bukan hanya perang mulut, bangku perpustakaan pun nyaris aja jadi korban bantingan.

Setaon kemudian, 1997, kita lulus! Momen itu menjadi titik awal bagi kita semua. Bagi saya, kelulusan menjadi tantangan baru di rimba belantara Jakarta, karena saya mesti mencari uang, bukan mikirin saya mo ngambil jurusan apa di kampus.

Namun sebelom kita lulus, kita getol ngikutin try out UMPTN ato universitas-universitas swasta cakep di zamannya. Waktu itu, kita pernah ngikutin try out dari Universitas Gunadarma. Hasil dari try out itu, kami sama-sama dapet sejumlah discount yang menggiurkan untuk duduk manis di kampus yang dempetan ama UI itu.
Dia bilang dengan berapi-api, “Pik, kita bisa sekampus! Ayo, daftar bareng!”
Terbayang, kalo kami sekampus, pasti akan menjadi “Duo Dynamite” seperti saat di SMA. “We’re gonna rock Gunadarma!”
Namun, bukanlah pilihan saya untuk duduk di kampus. Karena itu, saya gak perlu jawab apa-apa dari ajakannya. Dan dia ngerti itu.

Kamipun pilih jalan masing-masing. Saya dah mulai sibuk nyari lowongan kerjaan. Dan dia dah mulai sibuk nyari kos-an. Jadwal ketemuanpun semakin berkurang. Biasanya kami ketemu di rumahnya, lalu ngobrol diatas loteng, juga bersama Andri, sesekali bersama Doni. Ngomong apapun.  Mulai dari kehidupan kampus, cewek-cewek SMA, sampe urusan UFO. Kalo begadang di loteng, dia selalu nutup hidungnya dengan handuk. Dia bilang, untuk ngehindarin paru-paru basah. Tapi dia perokok yang hebat. Aneh!

Setelah dia lulus dari Universitas Gunadarma, dia kerja di sebuah perusahaan privatisasi. Saya kerja di perusahaan penerbitan. Kami sibuk dengan kerjaan dan kehidupan pribadi masing-masing. Hingga akhirnya kami nyaris putus kontak ketika saya berpikir untuk memutuskan menikah di tahun 2007.

Setelah beberapa taon gak ketemu, taon 2008, kami ketemu lagi. Tapi ketemuan dengan cara yang gak menyenangkan. Saya bermalam di rumahnya dengan bawa sekantong baju dan tampang yang lusuh. Saya bilang, “Don, gw nginep di rumah loe! Rumah tangga gw lagi kacau!”

Justru dari pertemuan di taon 2008 itu, kami seakan reuni kecil-kecilan. Namun di taon itupun, kami menghadapi dua momen terbesar dalam hidup kami. Dia akan menikah dan saya akan bercerai.
Di bulan yang sama, cuma berselang tiga hari. Tanggal 10 Agustus saya hore-hore dipernikahannya, tiga hari kemudian saya duduk gerah di Pengadilan Agama Tigaraksa, Tangerang. 

Setelah itu, kami jadi sering ketemu. Ngebuat bisnis fotografi bareng. Konflikpun datang silih berganti, begitupun solusinya. Tapi justru itu yang membentuk karakter kami.

Saya masih ingat dengan salah satu obrolan kami di loteng, belasan tahun yang lalu. “Don, suatu saat nanti kalo reunian, kita mesti dah sukses! Dia menimpali, “Dan kita akan naek motor Harley Davidson ke reunian..side by side...Huahahaha!”

*It was the oldtime...








Selasa, 01 November 2011

Reuni Kita



Ketika kita mendengar kata reuni, hal yang terlintas dikepala kita adalah bertemu dengan kawan lama. Iya, kawan lama yang hampir tidak kita temui bahkan kita sapa secara intens seperti dulu. Begitu banyak memori yang terpendam tapi belum cukup untuk dikatakan terkubur.

Reuni membawa kita kembali duduk bersama dengan kawan-kawan yang pernah bersama kita dimasa lalu. Ingatan kita secara tak sengaja terlempar kebelakang, mengingat momentum masa lalu. Kadang, perasaan kitapun terlibat didalamnya hingga memberikan kesan dramatis. Tapi sekarang, semua itu berubah menjadicerita masa lalu, namun ada juga yang membawa masa lalu menjadi kisah masa depan dalam sebuah ikatan perkawinan ataupun kerja sama pekerjaan.

Lalu, apa ada hal lain yang terlintas dari reuni selain bertemu kawan lama? Mungkin kalau saya boleh menduga dari pikiran dangkal saya, reuni juga bisa dijadikan sebagai etalase keberhasilan, kesempatan broadcast status karier ataupun perkawinan dan sebagai panggung pertunjukan matrealisme. Itu Cuma kritisi subyektif. Siapapun boleh berpendapat dan menyangkal.

Tapi tunggu! Tentu ada motif subyektif lain y lebih baik. Ketika kita dihadapkan pada situasi untuk menyusun kembali cerita masa lalu y berserakan, kita dihadapkan pada situasi untuk memperbaiki diri. Memperbaiki diri yang seperti apa? Memperbaiki penyesalan diri kita y mungkin dulu terlalu genit bercumbu dengan kekeliruan di masa lalu. Maklum, kita pernah labil, kita pernah emosional dan terlalu eksplosif terhadap idealisme yang kadang terlalu naif dan egois.

Maka reuni dapat kita perlakukan sebagai sarana menjemput kembali pengalaman masa lalu itu, untuk kita susun kembali dalam kerangka perbaikan diri. Kita dapat melangkahkan kaki kita ke reuni dengan langkah yang rendah hati dan jernih. Dan menyadari bahwa kita masih belum optimal mendayagunakan jaring persahabatan untuk memutar turbin kebaikan secara lebih dahsyat dan baik lagi.

Semoga momentum reuni tidak sekedar sebagai pertunjukan tawa, pamer, konsumsi yang berlebih. Ada masih banyak celah untuk dimaknai dalam kata reuni seperti fungsi sosial. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain? Menempatkan reuni dalam bingkai yang tepat akan menjadikan kita dapat merestorasi persahabatan, melalui jalinan silaturahmi, menjadikan reuni lebih tepat guna. 

*tulisan menjelang reuni SMAN 90 Jakarta, angkatan 1997

Selasa, 18 Oktober 2011

Siapakah Dia?

Siapa kah dia?
yang membuat aku kembali percaya bahwa aku tidak sendiri lagi
Siapa kah dia?
yang membuat aku yakin bahwa ada sesuatu y bisa dipertahankan
Siapa kah dia?
yang kehadirannya seperti tak akan terganti
Siapa kah dia?
yang selama ini membuatku tertawa untuk kelucuan dan kekonyolannya
Siapa kah dia?
yang membuat aku mampu melihat bahwa sebuah hati itu bulat bukan setengah seperti sebelumnya
Siapa kah dia?
Seakan dia adalah untuk aku dan hanya dia yang pantas untuk menggenggam kesetiaanku
Siapa kah dia?
yang tak akan pernah bisa kujamah untuk bisa berjalan bersama demi hari esok.

Senin, 19 September 2011

Keparat Cinta

"Sungguh, kau akan selalu menemaniku?"
Iya..

"Walaupun waktu yang bergulir, cinta kita akan selalu hangat, seperti matahari pagi?"
Iya..

"Apapun yang akan terjadi, kita akan selalu mencintai?"
Iya..

"Sehingga kita akan menjadi pasangan tua yang tetap berpegangan tangan?"
Iya..

"Dan seluruh jagat serta malaikat akan iri dengan cinta kita yang sejati?"
Iya..

"Lalu, mengapa aku lihat kau mencumbuinya?"
Karena aku bosan dengan cinta...

Setelah

Setelah melewati jalanan yang sesak oleh asap, debu dan emosi setan jalanan...
Setelah mendorong vespa dua kilometer karena ban bocor...
Setelah melalui hiruk intriknya hubungan budak-budak kantor...
Setelah menjalani penolakan tender...
Setelah menjelaskan segudang alasan berakhirnya hubungan gelap...
Setelah dipepet untuk ngirit makan siang...
Indahnya, tiba di kontrakan dengan selonjor kaki sambil mereguk teh manis hangat.

Tok...Tok....Tok....
"Baaang! Kontrakan b'lon dibayar neeeh! Pan dah tanggal dua lapan! Bulan kemaren juga belonan, ntuh! Ntar taro di selipan pintu aje, yeee! Aye ke kondangan ke Kebon Kacang dulu, dah! Inget, dah dua bulan, ntuh!"

Teh berubah jadi pahit dan anyep!

Minggu, 18 September 2011

Marketing Seks Komersial


Lagi, pulang kantor selepas jam sepuluh malam. Kelamaan,  saya mulai menyukai kebiasaan ini, karena saat itu lalu lintas Jakarta tidak sehiruk-pikuk jam sebelumnya.  Tidak macet dan angin semilir malam ngebuat badan terasa teduh. Kepala panas karena tekanan deadline, terasa adem oleh angin yang menyelinap kebalik helm.

Saat itu habis hujan, sepanjang jalan basah oleh genangan air. Angin malam bukan hanya membawa semilir tapi sekaligus dingin mencekat.  Tapi saya tetap menikmati malam itu, apalagi ditemani mp3. Lagu-lagu itu seakan membawa saya pada nuansa imaji terlalu muluk.  Apalagi kalau bukan lagu bertema cinta, tapi saya tidak pernah berhenti untuk menyukainya.

Malam itu, saya mengambil rute yang beda dari biasanya. Sedikit memutar dan mengulur waktu. Apabila saya mengambil rute itu, pasti melewati beberapa tempat remang-remang. Tempat yang selalu di penuhi oleh wanita penjaja seks yang asik merokok. Walaupun saat itu dingin, kode bajunya tetap mencirikan wanita sensual. Tentunya dengan tang top, celana pendek, sepatu high heels dan make up menornya. Matanya tetap memerhatikan setiap pengendara yang melewati tempat remang itu. Ditemani alunan Maliq n d’ essentials, “Maukah kau tuk menjadi yang pertama..Yang selalu ada disaat pagiku membuka mata..” mereka kerap memanggil siapapun yang berlalu. Untung aja, yang melewati tempat itu cuma satu dua pengendara. Karena jika jumlah pengendaranya seperti jalan protokol, abislah pita suaranya.

Tapi dari sekian pekerja seks komersial yang memanggil-manggil calon pelanggan, ada satu yang beda.  Panggilannya mirip suara desahan. Seakan menciptakan gejolak one night stand dengan dramatisasi dinginnya malam.
“Ooooooh, maaas…kesiniiii, doooong….Oooooh…yeeeeees….”

Desahan itu terasa kurang cukup baginya, dia membuka retsleting yang membungkus dadanya. Lalu munculah pemandangan yang gak diduga sekaligus mengagetkan.  “Busyeeet!” Iya, seperti yang Anda duga.
Satu dua pengendara yang melewatinya sempet berjalan pelan sambil memerhatikannya. Namun, entah pengendara itu khilaf atau doyan, mereka gak memerhatikan potongan tubuh penjaja seks itu. “Wanita” itu berperawakan jenjang, bahunya lebar, lengan atasnya kekar, betisnya besar dan satu lagi, berjakun pula.

Setelah itu, kepala saya pusing..mencari selokan untuk muntah sejenak. 




Warkop Bintaro Sektor 3


Disaat tempat-tempat tongkrongan dah berfasilitas hotspot atau free wi fi, tempat ini alergi dengan itu. Tetep menjaga orisinalnya. Dari jaman kuda gigit kuku sampe kuda delman, gak jamak dengan itu. Tempat apa siy, cing?

“Warkop..” Yup, karena itu adalah warung kopi yang terletak di bilangan Bintaro sektor 3. Deket perempatan yang menghubungkan Sektor 3 dan Kampung Bonjol. Seratus meteran, mepet dengan SMP Al Azhar Bintaro. Tempatnya sederhana dan kecil. Bersebelahan dengan warteg dan pangkalan ojek.

Tempat Bahas Proyek Sekolah
Tempat itu istimewa, brur. Walaupun hanya tempat persinggahan orang-orang yang pengen ngupi tapi menyimpan cerita selama belasan taon.
Pertama kali tau tempat itu, saat masih SMA, bareng Wahyu, Handri, Abo, dan Lutfi. Kami gemar sekali begadang, terutama kalo dapet proyek dari sekolah. Padahal proyeknya ratusan ribu rupiah doang, tapi gayanya kaya dapet proyek jutaan rupiah. Pake catatan, print an proposal sampe calculator [untuk ngitung pembagian sisa proyek, jack]. Di tempat ini, kami bagi-bagi tugas lapangan termasuk bagi-bagi jatah sisa proyek. Ritualnya, sebelum proyek dikerjain, kami dah ngerayain dulu dengan makan indomie sampe bantet. Walhasil, setelah proyek kelar, perayaannya cuma teh manis dingin. Syukur-syukur ada gorengannya.  Itupun dari koceknya Abo.

Juga Ngebicarain, Ini..ni..
Selain ngebicarain proyek, tentunya gak akan manis kalo gak ngebicarain cewe-cewe di sekolah. Wahyu yang cuma sekali senyum langsung dapet gebetan, sampe Lutfi yang gugup kalo di deketin cewe.  Gimana gak gugup, yang deketin Lufti cewe dences. Yuuuk. Lalu, Handri yang suatu saat cerita deket dengan cewe A, besoknya dah bicarain jalan dengan cewe B, eeh..lusanya gandengan tangan dengan cowo C. Cowoo, boow. Becanda ding. Gimana dengan Abo? Iya, dari SMA pikirannya dah mateng and visioner abis. Seharusnya dari dulu, kita bikin partai aja, Bo. “Loe jadi wapresnya gue jadi capresnya.” Teteup.

Gak Berubah
Hingga waktu terus berjalan, kami memilih jalan hidup masing-masing. Warkop itu tetep seperti dulu. Penjaganya masih gemar cemberut dan speakless, sambil liatin pembeli yang makan. Tulisan di kacanya juga masih tetep sama, Warkop, sedia Bubur kacang ijo, telor ½ mateng, jamu dan roti bakar. Yang dijual juga gak berubah, kaya gorengan, sofel, autan, kopi instan, rokok sampe krupuk yang kadang alot. Tapi  kecuali harganya yang berubah. Naek 130%. Sebel.

Saya pernah ngeliat penjaga lelaki bertubuh gempal itu tersenyum, yaitu ketika pelanggannya yang mirip Della Puspita. Disuruh apa aja, gak bakal nolak. Seperti irisin potongan cabe di indomie, lalu bawang gorengnya yang dibanyakin. Kayanya disuruh joget  kuda lumping juga mau aja tuh. Dan ini adalah pemandangan yang sangat jarang. Oleh karena itu saya menikmati saat-saat dia disuruh.

Bencis
Warkop ini jarang memutar lagu. Mungkin pemiliknya menginginkan supaya kita lekas makan, bayar lalu pulang. Nah, karena alasan itu, peluang kosong tersebut dimanfaatkan oleh pengamen bencis.
Suatu ketika, selesai berdendang ala kadarnya, plus goyang ngebor Inul, bencis itu berkata, “Hay, cowo! Nama kamyu syapah?”  Merasa bingung, dia langsung menepak punggung saya.  “Ooh, saya?Mmm…Nama saya Taufik, eh Rudy deng..”Dia langsung menggamit pipi saya, dengan dua tangan kekarnya. Pipi saya dibawa ke kiri dan ke kanan sambil berkata, “Hayooo, jawab yang jujur, yaa tampaan…” Mau gak mau, saya menjawab dengan jujur, “Nama saya, Samiun..”
Bibirnya tebal, merah menyala, dengan make up yang rame, seakan ingin melumat bibir saya. Tapi kayanya dia pengen melumat mie yang nempel di dahi saya. Untungnya gak jadi. Perasaan saat itu deg-deg an, minta ampun.  Dan langsung bersumpah, gak mo jadi bencis. Setelah bencis itu pergi, semua tokeng ojek ketawa-ketiwi.

Warkop dan Warteg
Warkop ini bersebelahan dengan warteg. Yang menarik, warteg 24 jam ini selalu dihibur oleh nyanyian mba-mba penjaga warteg. Palagi ketika ada lagu-lagu di GenFM, suara penyanyi diradio kalah dengan suara mba-mba itu. Dan mereka mampu nyanyi sampe ketemu pagi lagi. Luar biasa sekali mendengar mereka menyanyi, karena begitu menghayati sekaligus kuaaat. Gayanya mirip sekali artis, sambil memegang hape seakan sebagai pengeras suaranya.

Entah hingga kapan warkop itu akan tetep ada. Yang pasti, terkadang semua cerita berawal dari tempat itu. Termasuk ketika menentukan nama anak saya yang seharusnya Danish Athar Besari.
Hingga sekarang, tempat itu seakan tetep menjadi kunjungan wajib kalo mampir ke Bintaro. Walaupun cuma untuk minum teh manis hangat sambil makan gorengan. Karena alasan diet, gorengannya cukup tiga belas ajah. Krupuk mienya tiga bungkus. Mmmm…terus, roti bakar coklatnya, dua tangkep cukuplah.  Roti bakar kacangnya, satu tangkep aja. Yummy.

Cinta yang Beda


Sepasang kekasih duduk di angkot menuju bioskop menonton Virgin 3 : Film Porno Banget. Kekasih perempuannya tidak henti-hentinya mendendangkan setiap lagu yang diputar sopir angkot. Mulai dari rock hingga dangdut. Mulai dari When I See You Smile nya, Bad English hingga Gubuk Bambunya, Meggi Z.
Di hati perempuan itu hanya tersimpan nuansa cinta, yang diwujudkan dengan mendendang lagu asmara. Dan lagu-lagu itu dipersembahkan hanya untuk kekasih yang duduk disampingnya.
Baginya, cinta adalah segalanya. Cinta telah menjelma menjadi media memanjakan hati yang hanya bisa diungkapkan terhadap kekasih pujaannya. Pengorbanan demi cinta bukan menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Seperti pengorbanan kekasih perempuan itu yang semangat bernyanyi walaupun angkot penuh dengan hitungan 6-4 nya. Tentunya tangan kekasih itu sambil memegang erat hangatnya tangan kekasih lelakinya.

                                                         …….

Lelaki itu terdiam sambil sesekali tersenyum dan menyapu pandangan ke seluruh penumpang angkot. Namun kekasih perempuan itu, si lelaki, seringnya memandangi lekukan baju ketat kekasihnya.
Belahan dada kekasihnya terlihat, walaupun cuma satu centi dari batas atas baju ketatnya. Pandangan lelaki itu berpindah ke bibir sensual kekasihnya, dengan lipstick merah yang merona. Sesekali lidahnya menjulur, membasahi bibirnya sendiri.
Nafasnya tidak beraturan, jantungnya tidak bisa diajak kompromi untuk tenang. Dipikirannya berkecamuk fantasi nakal untuk bermain dengan dada kekasihnya. Berbagai strategi diatur serapih mungkin untuk menghangatkan suasana bioskop yang dingin dan gelap. Hanya dua hal yang ada dipikirannya, ciuman dan remasan. Ukuran selangkangan jeans lelaki itu berubah membesar.

                                                       …….

Begitulah, kekasih itu menafsirkan cinta dalam arti yang berbeda. Cinta yang penuh kasih asmara dan cinta yang penuh nafsu gejolak. Entah seperti apa, sebaiknya memperlakukan cinta. Apa ada yang salah dengan itu? Bagi mereka, cinta dengan nafsu akan lebih nikmat.

PS : Kira-kira yang pilih filmnya siapa?

Pemuda Nasi Uduk

Udin, pemuda kampung penggemar nasi uduk,
Menjelang pagi dah sibuk cari tempat duduk,
Walaupun semaleman begadang, mata Udin gak lagi ngantuk,
Disampingnya ada cewe cakep, bikin Udin kikuk,
Hobi makan semur jengkol terpaksa batal ditunjuk,
Walaupun lalet mengerubungi mulut Udin, dia cuek bubuk,
Karena cewe cakep bikin Udin gak suntuk,
Banyak pembeli yang pesen dan kasak-kusuk,
Cewe cakep giliran pesen, pilih gorengan sambil angguk-angguk,
Mungkin karena gorengannya beragam bentuk,
Cewe cakep pergi dengan belanjaan nasi uduk,
Giliran Udin pesen nasi uduk,
Sial, nasi uduk ludes, Udin langsung suntuk,
Lalet pindah, ngerubungi Udin yang buduk,
Sambil komat-kamit, Udin gak berhenti ngutuk,
Udin jalan pulang 3 km, sampe terbungkuk-bungkuk.








At The Gym



Pukul  07.15
Saat itu,  saya tiba di gym. Seperti biasa, apabila pagi hari, selalu dipenuhi oleh ibu-ibu. Walaupun bisa juga dijumpai beberapa lelaki yang giat cari keringat di gym dua lantai itu. Umumnya, wanita-wanita menyukai aktivitas olahraganya di lantai dua. Mungkin karena alat-alatnya tidak terlalu ‘menyeramkan’ bagi mereka. Dibanding lantai satu yang isinya penuh dengan dumble dan barbel puluhan kilo.

Ada cerita dari gym yang diinstrukturi oleh pria 30an tahun yang bernama Anton ini. Seperti apa? 
Gym di pagi hari, selalu ada dua ibu rumah tangga sohiban. Saking sohiban, mereka memiliki motor Vario dengan warna yang sama, merah. Mereka paling giat, sampe setiap alat disana, selalu ada bekas keringat mereka yang belepotan. Ugh! Bayangkan, mereka mulai ngegym dari buka, pukul 06.30 WIB hingga  kisaran pukul sembilan lewat. Pernah, ada yang berpapasan dengan mereka, langsung ke toilet, muntah-muntah. Mungkin karena aroma keringat kolektifnya.

Ada lagi, wanita yang paling rajin sit up. Padahal badannya dah cukup ramping. Jangan diadu dengan ukuran perut saya, karena ukuran perut saya tiga kali lipat ukuran dia. Parasnya cantik, dengan rambut seleher dan kuning langsat. Wanita ini jarang ngomong. Mungkin dia terobsesi iklan Classmild, Talk Less Do More. Namun sekali ngomong, tingkat suaranya delapan oktaf. Nyaring sekaligus sumbang, mirip suaranya Mpo Nori.

Pukul 07.35 WIB
Jam segini, biasanya dia datang. Wanita yang usianya mendekati 40 taon dengan tinggi sekitar 160 cm. Mmm, dia paling update dengan kostum fitness. Tentunya kostum yang super ketaaat! Bayangkan deh, gimana lekukan tubuhnya.  Lucunya, wanita ini jarang melakukan aktivitas fitness. Paling betah, bermain satu jenis alat, cuma dua menit! Selebihnya bolak-balik sambil basuh keringat yang gak ada, dengan handuk Hello Kittynya.  Belom lagi, kegiatan aktifnya ngulik-ngulik hape. Padahal cuma baca sms-sms lama. Wanita berkulit sawo matang mendekati item ini, paling giat olahraga yang ada gerakan nunduknya. Seperti sit up. Karena saat itu, dia seperti ingin menunjukkan gerakan dadanya, yang seperti gumpalan jelly apabila di goyang. Bleweeweer. Setiap kali dia melakukan itu, buah dadanya seakan gak betah didalam kostumnya.
Dia gemar tersenyum, senyumnya mirip sekali senyum jail Tukul. Dengan gigi yang dominan dan bibir yang tebaaal. Oh, Tuhan..dia merasa sensual.

Di tengah-tengah itu, ada wanita berkerudung dengan paras Arab. Pakaiannya sopan. Tidak ada lekuk tubuh yang terlihat. Atas bawah, tertutup dengan pakaian yang serba longgar. Bicarapun seperlunya. Sesekali mendapati dia sedang mempermainkan ruas jari-jarinya. Mungkin sedang dzikir, mengucap Astaghfirullah untuk wanita dada jelly sensual itu. “Semoga ini bukan tanda akhir zaman.” Mungkin itu tebakan saya, dalam hatinya.

Pukul 07.45 WIB.
Ada lelaki dengan tinggi sekitar 175 cm. Badannya tegap. Perutnya sixpack. Lengannya kekar dan kering. Senyumnya dibuat untuk para gadis cakep. Kenapa? Karena setiap kali gym itu di kunjungi wanita cantik, dia selalu ada. Terutama hari libur. Padahal saat itu, dia gak sedang ngegym. Tiba-tiba saja datang seperti Spiderman yang siap menolong.  Walaupun saat itu, dia masih pake baju batik kondangan. Dia selalu basa-basi dengan wanita. Entah itu membicarakan diet makan sampe gosip selebritis. Bahkan, dia juga tau kalo Saepul Jamil suka cemburu ama Dewi Persik, mantan istrinya. Anton instruktur, menyebut lelaki itu, Jablay. Mungkin karena JArang diBeLAY kuku harimau.

Kemudian, ada lelaki bertubuh besar. Lengannya besar. Dadanya besar. Saya yakin beberapa wanita akan tersaingi dengan dadanya. Walau tubuhnya besar tapi kakinya kecil, gak sebanding dengan olah tubuh atasnya. Untungnya, kaki-kakinya cukup kuat menopang tubuhnya.  Suka pake kaca mata item. Lelaki ini, gemar sekali berdendang keras-keras, mengikuti lagu-lagu yang diputer di gym. Mulai dari Soneta Grup sampe Kangen Band. Oh ya, lagu-lagu boyband juga hapal banget, tuh. Eulueh.

Pukul 08.00
Ada film lawas, judulnya Bloodsport, yang dilakoni oleh Jean Van Damme. Di film itu, ada karakter bernama Chong Lie, yang mengancam Van Damme dengan kata-kata, “You are next!” nya itu.  Nah, di gym ada lelaki yang persis Chong Lie. Tapi jangan bayangkan Chong Lie dengan perut rata, karena perutnya one pax, alias ndut. Kayanya, lelaki ini sangat efiesien. Terlihat dari caranya ngegym yang hemat waktu. Datang langsung naek sepeda statis, setelah lima belas menit, pulang.

Lalu, ada lelaki sekitar 37an taon. Dia pilot. Pernah, dia langsung angkat dumbel, padahal masih pake seragam pilot lengkap dengan dasinya dan kaca mata raybannya, seakan dumbel adalah kemudi pesawatnya. Lelaki flamboyan itu selalu sms dan teleponan dengan ketawa-ketiwi. Jadinya lebih banyak maen hapenya dari pada maen alat fitnessnya. Dibanding lelaki laen yang ngegym, pakaiannya paling lengkap. Pake ikat kepala, lalu gelang karet seperti petenis Rafael Nadal. Gak ketinggalan pelindung siku plus sarung tangan Valentino Rossi, supaya gak kapalan. Celana Reebok, dan warnanya selalu hitam. Jangan-jangan cuma itu aja yang dia punya. Kaos kaki putih yang semerk dengan sepatunya, Nike. Trendy abis dah. Kalo anaknya dibawa, dia selalu nyuruh anaknya tinggal di mobil. Mungkin untuk memikat wanita berdada jelly itu.

Pukul 08.15
Waktunya saya sign out dari gym, cabut ke kantor sambil ketawa-ketiwi…











“Oh, No!”


Malam itu, jalanan begitu sepi. Waktu menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Udara terasa dingin, menggeletik tulang. Dingin karena sehabis hujan. Membuat orang terasa malas keluar rumah. Bahkan lampu-lampu jalan juga tidak bergairah untuk bercahaya. Hanya beberapa titik lampu yang menyala, itupun terlihat redup. Memang saat itu, kabut pun bermain-main dengan dinginnya malam.

Cahaya yang bisa dipercaya, hanya satu, itupun berasal dari lampu motorku. Walaupun bukan halogen, lampu itu cukup bisa menantang kabut dengan jarak pandang 30 meter. Keadaan seperti itu, memaksa kecepatan hanya 40 km/jam. Ditambah kondisi jalan yang penuh dengan lobang dan genangan air.

Pikiran seakan melayang untuk segera tiba di rumah. Mandi, setelah itu minum teh hangat sambil mendengar LiteFM. Namun, pikiran itu hanya bentuk harapan. Kenyataanya, perjalanan masih panjang. Saat itu, hal yang dikhawatirkan bagi pengendara motor hanya satu. “Ban motor jangan bocor! Pliiis!”

Ternyata yang dikhawatirkan bukan hanya ban bocor. Tapi tiba-tiba, pandanganku melihat sesosok. Membuat jantung berdegup kencang. Napas tersengal dan berat. Tidak mungkin berbalik, karena jauhnya sama. Bulu kuduk merinding, ditambah keringat dingin yang mengucur tanpa diduga. Segala kemungkinan akan hal mistik berkelebatan mengisi imajinasi. Mantra dizikir seakan menjauhi karena hari ini aku berdosa.

Jarakku hanya beberapa meter lagi dengan sosok itu. Aroma melati menusuk hidung. Santer sekali. Rambutnya panjang, dia sedang duduk membelakangiku, di pinggir jalan. Asap keluar dari balik rambut panjangnya. “Oh, no!”

Pandanganku mantap ke depan. Tidak peduli dengan sosok itu. Namun, rasa ingin tahu ini memupuskan kemantapan itu.  Ketika kami berpapasan dan bertemu pandangan.  Sosok itu mengucapkan sesuatu, sambil mengeluarkan asap rokok :
“Eeeeh, Bang! Yuuuk, kita mojook! Akikaah belon ada gaetan, niich! Duuuh, cape deee disini, booow!”

Entah Siapa



Dulu, saya kerja di perusahaan yang membagi waktu kerjanya menjadi tiga shiff. Saat itu, saya mendapat giliran shiff dua, yaitu dari pukul 15.00-23.00 WIB. Kegemaran saya adalah duduk di lobby menjelang pukul enam sore. Lobby itu terdiri dari dua pintu, sepasang pintu utama depan dan sepasang pintu menuju lorong ruangan kerja. Kedua pintu tersebut terbuat dari kaca tebal dengan sistem sensor. Namun, setelah jam lima sore, pintu utama depan dikunci. Hanya sepasang pintu kaca menuju lorong ruang kerja yang tidak dikunci. Lobbynya terletak diantara dua pintu tersebut. Seperti layaknya lobby perkantoran, lobby itu dilengkapi dengan toilet pria dan wanita, plus sebuah ruangan pantry.

Setelah jam istirahat, yaitu menjelang maghrib, saya suka duduk-duduk sendiri di lobby sambil baca koran dan menyeruput teh hangat. Ada sensasi yang beda, mungkin karena saya bisa menikmati sunset seperti di pantai dari celah jendela lobby. Tapi jangan bayangkan saya memakai cawat dengan pelampung melingkari pinggang saya, seperti gaya seorang pelancong.

Lima menit menjelang maghrib, tiba-tiba ada suara gedoran pintu dari arah pantry. Saya kaget bukan kepalang. Gedoran itu berkali-kali. “Begundal macam mana yang iseng!”
Agak ragu untuk memastikan, tapi saya tidak cukup kuat untuk menahan keingintahuan gedoran itu. Akhirnya saya berjalan ke arah pantry. Saya buka pintu pantry tapi tidak ada siapa-siapa. Saya kembali ke sofa lobby dengan perasaan tidak karuan. Namun, beberapa menit kemudian gedoran itu berbunyi lagi. Kali ini lebih keras.

“Oke! That’s it!”
Kali ini saya tidak menyambangi pantry tapi berjalan menuju pintu lorong ruangan kerja. Sialnya, pintu menuju lorong kerja macet. Sensornya tidak bekerja. Padahal saya sudah melakukan berbagai gerakan, mulai dari poco-poco sampe moonwalkingnya Jacko, supaya sensor menangkap gerakan saya lalu pintu itu membuka. Tapi pintu itu tetap saja diam.

Lalu, dari bayangan kaca pintu, saya melihat kepulan asap yang terbang dibelakang saya. Saya yakin tidak ada yang terbakar di lobby. Lalu dari mana asal asap itu? Keringat dingin mengucur dari kepala hingga lengan. Jantung berdegup kencang. Konyolnya, saya malahan bernyanyi keras-keras, untuk mengusir rasa aneh itu.
Namun, di telinga saya terdengar bisikan “Ssssshhhhh..” Mungkin karena saat itu saya menyanyikan dangdut.
Beberapa saat kemudian, pintu membuka. Saya lari, bukan jalan lagi.

Usut punya usut, gedung baru itu punya cerita. Konon, ketika pembangunan lobby, ada dua orang tukang yang terjatuh, lalu tertimbun cor an semen hingga tewas. Ada yang percaya, kedua tukang itu tertanam bersama cor an. Hiiii…


Pailul dan Naked Traveler



Setelah 376 hari, 34 jam, 47 menit, 35 detik, Pailul berhasil melakukan sesuatu yang sangat besar. Energi yang dikeluarkannya juga dah melampaui level kemampuannya. Diiringi gejolak yang menggebu-gebu dan keringat bercucuran sampe membasahi lantai. Hingga mata  terasa berat dan memerah untuk melakukan itu. Ngelakuin apaan? Kelarin baca buku Naked Traveler![Bangga bener, Lul].

Awalnya, Pailul memilih buku itu karena judulnya ada kata Naked, kata pertama yang dikenalinya ketika belajar bahasa tagalog…Eh, inggris ding. Plus buku itu berwarna biru pula, warna yang mengingatkannya akan genre film, yaitu blue film. Menurutnya, isi blue book akan sama dengan blue film.
Akhirnya, yakinlah Pailul untuk membeli buku itu, lalu mengendap ke kasir untuk membayarnya dengan uang ribuan lecek dan gopean. Cape deh, kasir dikerjain untuk ngitungin.

Dikamar, Pailul gak sabar untuk mengebet lembar perlembar halamannya. Setelah tujuh bab dia baru sadar, ternyata buku itu bukan seperti dugaan awalnya, yaitu buku bokep. [Telat bener, tujuh bab baru sadar].

Beberapa hari kemudian, Pailul cerita pada saya tentang pengalaman yang dia anggap buruk ini. Detail sekali penceritaannya, hingga akhirnya, dengan izin orang tuanya, saya ceritakan bukunya ke dalam tulisan ini. Untung aja, Pailul masih gaptek internet, apalagi kenal fesbuk, jadinya dia gak ngeh kalo penggalan pengalamannya saya tulis. Semoga dia gak pernah kenal fesbuk karena dia sangat narcis, semua foto kegiatannya pasti di captured. Mulai dari bangun tidur sampe mandi. Yaiks.

Buku setebal xii + 282 halaman yang kelar dibaca Pailul ini, diracik oleh Trinity dengan bahasa yang lugas, ringan, simpel, lucu sekaligus pribadi. Dalam buku dengan kaver sederhana ini, Trinity berhasil membawa Pailul ke nuansa pengalaman travelingnya ke berbagai pulau Indonesia dan ke 33 negara. Tanpa disadari, buku yang diterbitkan C|Publisihing ini, berhasil memikat Pailul dengan bahasanya yang naratif dan jujur.

Gaya penuturannya mengalir, mengisahkan petualangan backpacker dengan kejadian yang mungkin jarang kita temui ketika melakukan traveling. Diceritakan, penulis mampir ke airport Tanjung Redeb, Kalimantan Timur, untuk numpang dengan pesawat kecil. Saat boarding menunggu pesawat, ia mendengar tiga kali suara sirene. Suara sirene pertama adalah pemberitahuan agar penggembala ternak mengosongkan landasan. Sirine kedua adalah mengusir anak-anak yang nekat main sepak bola ditengah landasan. Lalu sirine ketiga, pesawat benar-benar akan mendarat.
Ada juga cerita ketika transit di airport Busuanga, Filipina. Disana, pilot turun dari pesawat, teriak-teriak ke calon penumpang untuk boarding yang akan berangkat ke Manila. Mungkin mirip timer angkot yang panggil penumpang.

Banyak sekali cerita lainnya yang disajikan dengan cara yang sederhana sekaligus memikat. Buku ini informatif untuk mengetahui beberapa bumbu kisah dibalik backpacker dengan duit terbatas dan referensi tempat-tempat non-turistik.

Yang pasti, Pailul ngerasa banyak hal yang dapat ditemui diluar sana, melalui traveling. Dan siapapun bisa menjadi backpacker asal mempunyai kemauan kuaaat untuk keluar dari zona kenyamanan. Kalo Pailul, dengan menjadi backpacker ataupun bukan, dia tetep aja berada di zona tidak nyaman alias melarat.

Met baca, yeh…

Dosennya seperti Michael Jackson


Ada cerita tentang si Fulan. Usianya dah cukup kelewat batas untuk mengenyam jenjang pendidikan strata satu. Tapi menurutnya, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Lagi pula, ijazah S1 akan tampak indah dipajang di dinding ruang tamunya, untuk menemani piagam penghargaan lomba makan kerupuk dan lomba nyanyi tingkat taman kanak-kanaknya. Pokoknya, si Fulan sangat bersemangat untuk kuliah supaya lebih maju mirip perutnya yang semakin maju itu.

Setelah melalui berbagai urusan birokrasi pendaftaran, maka jadilah beberapa hari ke depan dia menjadi mahasiswa baru di suatu universitas. Jangan tanya jurusan apa yang diambil. Dipikirannya cuma ingin menjadi orang kaya.  Untung, tidak ada jurusan Ekonomi Cepat Kaya Sekejap. Karena kalaupun ada, pastinya si Fulan yang berumur tiga puluh limaan taon itu sudah bersiap belajar mata kuliah ngepet dan mata kuliah pelihara tuyul.

Hari pertama masuk kuliah, diajar oleh seorang dosen lelaki berperawakan kurus, tingginya sekitar 167 cm. Si Fulan menyimak setiap kata yang terucap. Baginya setiap kata yang terlontar adalah anugerah ilmu. Walaupun dosen itu sangat garing sekali cara mengajarnya. Namun, kelamaan, Si Fulan teringat sesuatu setiap kali dosen ini berbicara. “Duh, kaya siapa, ya??” Mungkin itu yang berkecamuk dipikiran Fulan.

Hari berganti hari, Si Fulan tidak pernah berhenti untuk mencoba menyandingkan dosen itu dengan seseorang yang dia ingat. Maklumlah, karena faktor usia dan uban, Si Fulan sering mengalami short term memory alias suka pikun!

Hingga akhirnya, pada pertemuan keempat di mata kuliah dosen tersebut, Si Fulan baru ingat! Saking senangnya, dia sudah tidak tahan lagi untuk mengungkapkannya. Tiba-tiba dia mengacungkan tangan. Memecah keheningan kelas yang serius mendengarkan dosen itu cuap-cuap hingga banjir.

Si Fulan berkata, “ Saya baru ingat! Saya mengingat Bapak seperti seorang mega star. Suara Bapak mirip sekali dengan Michael Jackson. Melingking dan nyaring. Seandainya Bapak bisa moonwalking, saya tidak keberatan mengikuti kelas Bapak hingga jam dua belas malam!”

Seketika itupun kelas senyap. Si Fulan sudah berada diluar kelas. Di suruh keluar oleh dosen itu….Bodoh sekali!