Ketika ditanya, siapakah sohib kamu di SMA? Mungkin gak banyak nama yang akan kesebut. Kisarannya satu sampe lima jari. Kenapa? Karena cuma yang namanya sohib, yang boleh kita ‘izinkan’ masuk ke ranah pribadi kita. Palagi, di masa labil itu, kadang kita begitu introvert terhadap temen-temen sekitar kita. Walaupun mereka juga pasti ngertiin kita yang kadang butuh tempat untuk sekedar berbagi. Terutama berbagi makanan di kantin :))
Well, saya pengen cerita tentang sohib saya. Pertama kali ketemu dia, waktu kami dapet job dadakan dari sekolah untuk dekor panggung perpisahan kelas III. Waktu itu kami duduk di bangku kelas I. Kalo gak salah taon 1994. Saat buat spanduk, dia buat motif sisik ikan di seputar font dengan kertas krep emas. Saya pikir, “Apa yang dilakuin, siy? Bikin rame aja! Gak artistik, tauk!”
Akhirnya pertemuan kami terhenti disitu aja. Hingga waktu kelas II, saya paling terakhir yang masuk kelas di taon ajaran baru itu. Terakhir masuk kelas karena sebelomnya, saya mesti berurusan dengan toilet. Setelah nyapu pandangan seluruh kelas, cuma ada satu bangku yang tersisa. Dan itu paling belakang dan dah ditempatin oleh satu orang. Gaya orang itu terkesan selenge-an, cuek dan sok cool. Dia duduk sambil nyenderin kursi ke dinding dengan kedua tangan dibelakang kepala. Saya tanya, “Kosong?” Dia menyahut, “Iya! Loe bisa bahasa Inggris?” Lalu saya, jawab, “Bisa..” Padahal, saya cuma gape bilang yes or no aja, selebihnya hanya bahasa Inggris pelem western yang terkenal ama kutukan-kutukannya itu.
Kami duduk sebangku selama setaon, 1995, di kelas II.6 itu. Ternyata dia orang yang menyenangkan, konyol, dramatis, a good story teller, sedikit smart dan penebar pesona akut.
Saya mengenal nyontek untuk pertama kali dari dia. Hampir setiap ujian, dia tempelin buku pelajaran dibawah meja dengan lututnya. Kalo guru khilaf, dia akan sigap! Sigap ngeliat contekan. Awalnya saya amazed dengan sikap yang saya anggap tabu selama itu. Tapi akhirnya kami menjadi partner in crime setiap kali ujian. Dia tempelin buku diatas lututnya, sedangkan saya kebagian ngawasin pergerakan guru. Kalo aman, segala jawaban ‘surga’ dan bayangan nilai 9, udah ada di tangan kami.
Lalu, dari bangku di kelas II itu, ‘kedekatan’ kami berlanjut ke bangku OSIS. Yup! Di lembaga itu, kami seperti menemukan siapa diri kami sebenernya. Dia itu kompetitif dan selalu ingin terlibat dalam setiap drama panggung hiruknya politik praktis OSIS SMA. Suatu hari dia pernah bilang, “Pik, kita mo adain demo. Loe yang maju. Pengaruhin anak-anak, nanti gw siapin materinya dan dukung loe dari belakang...”
Kisah dramanya pun kerap tertuang juga pada kehidupan pribadinya. Di waktu istirahat sekolah, dia pernah cerita, “Gw tadi abis ketemu Yossie di perpustakaan, gw mengusap pipinya. Terus gw pandangin dia...”
Namun, kedekatan kami bukan tanpa masalah. Kami pernah gak tegoran selama beberapa bulan, cuma karena urusan cewek. Sepele banget! Kami juga suka beda pandangan tentang terjangan kami di OSIS. Dan kami paling suka berdebat setiap kali ada diskusi kelas. Dia selalu menjadi my favourite #1 enemy!
Ributnya kami bukan hanya perang mulut, bangku perpustakaan pun nyaris aja jadi korban bantingan.
Setaon kemudian, 1997, kita lulus! Momen itu menjadi titik awal bagi kita semua. Bagi saya, kelulusan menjadi tantangan baru di rimba belantara Jakarta, karena saya mesti mencari uang, bukan mikirin saya mo ngambil jurusan apa di kampus.
Namun sebelom kita lulus, kita getol ngikutin try out UMPTN ato universitas-universitas swasta cakep di zamannya. Waktu itu, kita pernah ngikutin try out dari Universitas Gunadarma. Hasil dari try out itu, kami sama-sama dapet sejumlah discount yang menggiurkan untuk duduk manis di kampus yang dempetan ama UI itu.
Dia bilang dengan berapi-api, “Pik, kita bisa sekampus! Ayo, daftar bareng!”
Terbayang, kalo kami sekampus, pasti akan menjadi “Duo Dynamite” seperti saat di SMA. “We’re gonna rock Gunadarma!”
Namun, bukanlah pilihan saya untuk duduk di kampus. Karena itu, saya gak perlu jawab apa-apa dari ajakannya. Dan dia ngerti itu.
Kamipun pilih jalan masing-masing. Saya dah mulai sibuk nyari lowongan kerjaan. Dan dia dah mulai sibuk nyari kos-an. Jadwal ketemuanpun semakin berkurang. Biasanya kami ketemu di rumahnya, lalu ngobrol diatas loteng, juga bersama Andri, sesekali bersama Doni. Ngomong apapun. Mulai dari kehidupan kampus, cewek-cewek SMA, sampe urusan UFO. Kalo begadang di loteng, dia selalu nutup hidungnya dengan handuk. Dia bilang, untuk ngehindarin paru-paru basah. Tapi dia perokok yang hebat. Aneh!
Setelah dia lulus dari Universitas Gunadarma, dia kerja di sebuah perusahaan privatisasi. Saya kerja di perusahaan penerbitan. Kami sibuk dengan kerjaan dan kehidupan pribadi masing-masing. Hingga akhirnya kami nyaris putus kontak ketika saya berpikir untuk memutuskan menikah di tahun 2007.
Setelah beberapa taon gak ketemu, taon 2008, kami ketemu lagi. Tapi ketemuan dengan cara yang gak menyenangkan. Saya bermalam di rumahnya dengan bawa sekantong baju dan tampang yang lusuh. Saya bilang, “Don, gw nginep di rumah loe! Rumah tangga gw lagi kacau!”
Justru dari pertemuan di taon 2008 itu, kami seakan reuni kecil-kecilan. Namun di taon itupun, kami menghadapi dua momen terbesar dalam hidup kami. Dia akan menikah dan saya akan bercerai.
Di bulan yang sama, cuma berselang tiga hari. Tanggal 10 Agustus saya hore-hore dipernikahannya, tiga hari kemudian saya duduk gerah di Pengadilan Agama Tigaraksa, Tangerang.
Setelah itu, kami jadi sering ketemu. Ngebuat bisnis fotografi bareng. Konflikpun datang silih berganti, begitupun solusinya. Tapi justru itu yang membentuk karakter kami.
Saya masih ingat dengan salah satu obrolan kami di loteng, belasan tahun yang lalu. “Don, suatu saat nanti kalo reunian, kita mesti dah sukses! Dia menimpali, “Dan kita akan naek motor Harley Davidson ke reunian..side by side...Huahahaha!”
*It was the oldtime...